banner image

Nikmatnya Liburan ( Viny & Shani JKT48 )


Part 1


Pagi hari yang santai di kota pelajar. Burung bertebangan kemudian hinggap dipohon dan melemparkan cuitan. Yang kemudian dibalas oleh cuitan lain yang entah darimana datangnya.

Baru kemarin malam aku tiba di kota ini. Kota tempat aku dibesarkan, tempatku menimba ilmu hingga SMP. Ya, 15 tahun aku besar disini. Kemudian Ayahku dipindah tugaskan ke Ibukota sana. Membuat kami, aku dan Ibuku, ikut pindah ke kota yang tidak pernah tidur itu.

Lebaranlah, yang membawa kami sekeluarga kembali ke kota ini. Sayangnya, kami tidak bisa melakukan sholat Ied bersama dengan Kakekku, karena kami terjebak kemacetan. Dan juga, Ayah ku baru libur dari kantornya satu hari sebelum lebaran tiba. Jadi ya bisa dibayangkan saja, kami berada di jalan sambil mendengar suara takbiran.

"Indra!" panggil Ibuku.

"Ya bu?" sahutku lalu keluar dari kamarku.

Kami bertemu di lorong yang menghubungkan antara ruang tidur dan ruang tengah.

"Jangan males-males, ayo bantu Kakek kamu sana," suruh Ibuku dengan suaranya yang lembut.

"Indra gak males-malesan kok bu, baru bangun tidur juga," belaku.

"Ini udah jam sepuluh, apa itu namanya kalo bukan males-malesan? Ya udah sana, bantu Kakek kamu di garasinya," ucap Ibuku.

Aku mengangguk kemudian pergi menuju garasi. Disana, sudah ada Kakek dengan mobil sedan tuanya. Kakek sedang mengelap kaca mobilnya, sementara kap mobil tersebut terbuka dan mesin tidak dalam kondisi menyala. Aku menghampiri Kakekku itu.

"Benerin mobil Kek?" tanyaku.

Kakekku yang sedang mengelap itu memberhentikan aktifitasnya.

"Enggak kok, cuman ngecek aja," jawab Kakek lalu kembali mengelapi kaca mobil dengan kanebo berwarna kuning itu.

Aku pun berjalan ke depan kap mobil dan melihat mesin mobil tua ini.

"Kamu, kalo udah punya mobil nanti, harus sering-sering dicek mesinnya," nasehat Kakekku.

"Jadi biar tau ada kerusakan atau enggak. Kan gak enak kalau nanti lagi bawa mobil, terus mogok ditengah jalan, ya to?" ucap Kakekku.

Aku hanya mengangguk-ngangguk saja mendapatkan nasehat mengenai cara merawat mobil dari Kakekku. Setelah mendengarkan hal itu, kami masuk kedalam rumah kembali. Aku bertemu dengan Ayahku yang baru saja pulang setelah pergi entah kemana.

"Ayo mandi Ndra! Kita keliling dulu, kita kan belum keliling," suruh Ayahku itu.

Wah iya, karena kemarin kami tiba malam hari, jadinya kami belum keliling ke tetangga sekitar. Aku puj segera mandi. Setelah selesai, aku pakai celana jeans hitam yang sama seperti yang kugunakan kemarin saat diperjalanan, kemudian untuk atasanku, aku menggunakan kemeja berwarna biru tua dengan corak bintik-bintik putih.

Setelah itu aku, Ayah dan Ibuku keliling mengunjungi tetangga sekitar. Dari rumah satu ke rumah yang lain, semuanya merespon sama ketika melihatku. Mereka kaget, karena aku tumbuh menjadi laki-laki dewasa yang tinggi dan juga ganteng. Hehe. Karena umurku yang sudah menginjak 18 tahun ini, aku juga sudah tidak dapat amplop lagi dari mereka.

Akhirnya, setelah keliling dari rumah ke rumah yang lain, tinggal satu rumah yang tersisa. Ayahku menekan bel rumah ini dan tak lama, pintu terbuka.

"Wah Sandi! Apa kabar? Lama gak ketemu ya!" sapa pemilik rumah ini yang merupakan teman Ayahku sewaktu mereka masih SMA.

"Iya Man, maklum, kerjaan banyak jadi ya..." Ayahku tidak melanjutkan kalimatnya, melainkan menggelengkan kepalanya.

Teman Ayahku yang bernama Lukman itu berdecak lalu menyalami Ayahku kemudian merangkulnya. Lalu Ia bersalaman dengan Ibuku kemudian aku. Setelah itu, kami dipersilahkan masuk olehnya.

"Silahkan duduk! Silahkan duduk! Nah dimakan ini cemilannya," ucap om Lukman sambil membuka satu persatu toples berisi berbagai macam kue lebaran di meja ruang tamunya.

"Wah Indra udah gede ya sekarang, gimana sekolahmu disana?" tanya om Lukman.

"Haha, baik om," jawabku.

"Udah semester tiga ya kalau gak salah sekarang?" tanya om Lukman lagi.

"Iya om, hehe," jawabku.

"Sama dong kayak anak om. Masih inget gak sama anaknya om?" tanya om Lukman.

"Masih lah om, kita kan tumbuh dan berkembang bersama dari kecil," jawabku yang diakhiri tawa.

Ya, teman masa kecilku. Kami sering bermain bersama. Baik itu disekolah, maupun dirumah. Kami satu sekolah hingga SMP. Dan saat SMP, tiga tahun aku sekelas dengan dirinya. Disaat itulah, kami menjadi dekat karena sering pulang pergi bersama.

Tapi ya, kedekatan itu hanya sampai di SMP. Setelah aku lulus, Ayahku langsung mendaftarkanku ke sekolah di Jakarta sana. Dan saat itu aku sedang tidak memiliki gadget, sehingga aku tidak sempat menanyai nomer telfon teman kecilku itu. Dan bodohnya aku, kenapa aku tidak menanyakannya pada Ayahku. Aku yakin Ayahku punya nomer telfon om Lukman, dengan begitu aku bisa meminta nomer telfon teman kecilku itu.

"Mama! Viny! Ada tamu nih dari kota!" teriak om Lukman.

"Ah kamu ini Man, disini kan juga kota," ucap Ayahku.

"Haha, tapi gak segede Jakarta kan?" balas om Lukman kemudian kami tertawa.

"Ada siapa ini? Eh! Ada bu Ani!" ucap istri om Lukman ketika melihat Ibuku.

Ibuku langsung berdiri dan memeluk istri om Lukman. Setelah istri om Lukman keluar dari dalam rumah, datanglah Viny, teman kecilku itu. Gadis dengan nama panjang Ratu Vienny Fitrilya.




[​IMG]




Dia memandangku pertama kali saat memasuki ruang tamu. Kemudian pandangannya itu beralih ke Ayahku dan menyalaminya. Dan aku, menjadi orang terakhir yang Ia salami sambil tersenyum.

Ah, senyum itu. Senyum yang kurindukan darinya. Senyuman manisnya tidak ada yang bisa mengalahkan gadis remaja Ibukota. Bagiku, gadis dihadapanku ini, memiliki senyum terindah dari semua gadis di dunia ini.

"Lah kok diem-dieman gini? Udah ketemu saling ngobrol dong," ucap om Lukman.

Ya, aku merasa canggung untuk mengobrol dengannya sekarang. Entah karena ada orang tuanya, atau karena efek sudah lama tidak bertemu.

"Tau nih, padahal dulu udah kayak orang pacaran, berdua mulu," ucap Ayahku.

Aku hanya terkekeh pelan. Akhirnya, hanya obrolan dari kedua orang tua kami yang mengisi kunjungan ini. Aku mendengarkan mereka, sambil memandangi wajah samping Viny. Ia tumbuh menjadi gadis yang cantik. Rambutnya yang hanya sebahu itu benar-benar cocok dengan dirinya. Tak sengaja, pandangan kami bertemu. Dia tersenyum padaku, dan aku membalas senyumannya itu.

Ngomong-ngomong, apa dia sudah ada yang punya?




***


Aku sedang bermain game di hpku, sewaktu Ibuku menyuruh mengantar oleh-oleh yang dibawa dari Jakarta untuk tetangga sekitar. Ada dua kantung plastik merah berisikan baju lebaran. Aku mengantarnya sesuai dengan apa yang tertulis di catatan yang kubawa.

Ting tong!

Cklek!


"Eh, Indra," ucap Viny.

"Eh, hehe hai Vin..." balasku menyapanya.

"Engh, ada apa?" tanya Viny.

"Ah, ini... Ada sedikit, dari Jakarta," jawabku lalu memberikan tiga baju terakhir.

Viny menerimanya. Ia mengamati sejenak baju-baju itu lalu menatapku.

"Makasih," ucapnya sambil tersenyum.

"Masuk dulu," Viny mempersilahkanku masuk.

Aku pun masuk kedalam dan duduk diruang tamunya. Tak lama, dia kembali dengan nampan dan segelas air sirup.

"Wah, repot-repot banget sih Vin," ucapku lalu langsung meminumnya setelah Ia letakkan dimeja.

Haus sih habis keliling gitu. Tak kusangka, perilakuku membuat Viny tertawa kecil.

Viny memakai baju yang lebih santai dibandingkan kemarin. Jika kemarin Ia memakai baju yang menutupi tubuhnya dari atas hingga bawah, kini Ia hanya mengenakan celana pendek dan baju berwarna putih polos yang membuat lekukan tubuhnya itu terlihat.

Aku tidak tau kenapa, tapi aku merasakan aura Viny sangat kuat. Hanya dengan melihat wajahnya saja, sukses membuat adik yang satu tubuh denganku bangun. Ditambah dengan baju yang Ia kenakan sekarang, adik tersebut semakin bangun dan meronta minta dikeluarkan.

Tapi, aku harus menjaga sikap. Tidak enak jika pertemuan kami ini, dirusak hanya dengan Viny menyadarinya. Dan akhirnya Viny akan mengecapku sebagai lelaki mesum.

"Ahh... Om Lukman, sama Tante Meli kemana?" tanyaku.

"Papa sama Mama lagi kunjungan ke saudara," jawab Viny.

"Kamu gak ikut?" tanyaku.

"Enggak, aku disuruh jaga rumah, takutnya ada saudara jauh juga yang dateng kesini," jawab Viny.

"Hmm, gitu. Eh, udah semester tiga ya sekarang?" tanyaku.

"Ya iya, kita kan seumuran, hehe," jawab Viny.

Aku menertawai kebodohanku. Viny pun ikut tertawa.

"Sekolah disana enak?" tanya Viny.

"Hmm, enak sih. Temennya banyak," jawabku.

"Wah... Pasti udah punya pacar ya?" tanya Viny.

Ditanya seperti itu, aku jadi salah tingkah. Tapi, aku sudah lihai dalam hal ini. Dengan cepat aku kembali tenang dan menjawab pertanyaannya itu.

"Pacar sih enggak, calon mah banyak," ucapku menjawab pertanyaannya.

"Ih, dasar playboy," balas Viny.

"Eh, masih calon kok!" belaku.

"Tapi kan sama aja, itu berarti kamu deket sama cewek-cewek. Iya kan? Gak berubah ternyata dari dulu," ucap Viny.

Aku terkekeh pelan mendengarnya.

"Kamu sendiri? Udah punya belum?" tanyaku.

Dia diam tidak menjawabnya.

"Diem berarti punya nih. Ya iya sih, cewek cakep begini kalo di Jakarta udah diserbu kali, apalagi disini," lanjutku.

Dia tersenyum saat aku mengucapkan kata cewek cakep.

"Enggak kok, aku enggak mau pacaran dulu," ucap Viny.

"Gak mau atau gak ada yang deketin?"

Pertanyaanku sukses membuatnya cemberut. Aku tertawa melihatnya. Yah, setidaknya kami sudah tidak canggung lagi seperti kemarin. Obrolan pun berlanjut dari kami mengenang masa kecil kami, Viny menceritakan sekolahnya begitu juga denganku, hingga akhirnya langit sudah berubah menjadi jingga.

Aku pamit pulang padanya.

"Besok bisa anter aku jalan-jalan?" tanyaku saat sudah di teras depan.

Dia berpikir sejenak. Kemudian dia mengangguk.

"Oke, aku jemput jam dua siang ya," ucapku lalu pulang ke rumahku.

Begitu sampai rumah Kakek, aku disambut oleh saudaraku.

"Kak Indra!" sapanya.

"Eh Shani, kapan dateng?" tanyaku.

"Tadi siang kak. Kakak darimana?" tanya Shani.

"Dari rumah Viny," jawabku.

"Oh..."






[​IMG]






Shani Indira Natio, aku memanggilnya Shani. Anak dari Omku, yang merupakan adik Ibuku. Shani adalah satu-satunya saudara perempuanku. Selisih umur kami hanya satu tahun. Dia sering bermain bersamaku ketika aku masih kecil. Tapi tidak sesering seperti aku dengan Viny.

"Om sama Tante kemana?" tanyaku lalu duduk disebelahnya.

"Lagi jalan-jalan sama Om dan Tante," jawabnya.

Om dan tante yang Shani maksud adalah Ayah dan Ibuku.

"Wah curang ya kita ditinggal," ucapku.

"Iya, curang banget! Padahal tadi aku minta tungguin, tapi mereka tetep aja ninggalin," ucap Shani.

"Halo! Wah udah dateng ponakan om yang ganteng ini," Om Dion, baru saja pulang bersama istrinya dan orang tuaku.

Aku salim kepada mereka dan kami pun duduk sambil bercerita.

Tak terasa, hari sudah berganti menjadi malam. Om dan Tanteku sudah pulang, kecuali Shani. Dia hendak menginap disini sampai aku pulang lagi ke Jakarta. Shani bilang Ia masih kangen dengan saudaranya yang ganteng ini. Oke, dia yang bilang ganteng ya bukan aku.

Setelah makan malam bersama keluarga, aku masuk ke dalam kamar. Tak lama, datang Shani.

"Aku tidur dimana kak?" tanya Shani.

Pertanyaan Shani pun membuatku menyadari sesuatu. Rumah ini hanya memiliki tiga kamar. Kamar orang tuaku, kamar Kakek Nenekku, dan kamar yang kutiduri. Hmm, sepertinya, mau tak mau aku harus tidur dilantai.

"Kamu dikasur aja Shan, biar aku yang tidur dibawah," ucapku.

"Eh, gakpapa kak?" tanya Shani.

"Iya gakpapa," jawabku.

Ia kemudian duduk dipinggir kasur dan meletakkan tas ranselnya. Ia mengeluarkan pakaian yang Ia bawa, alat mandi, dan beberapa parfum dari sana. Saat Shani hendak mengeluarkan daleman dirinya, Shani menyuruhku untuk menghadap ke tembok.

Aku teringat sesuatu, kalau tidak salah ada kasur kecil di kamar Kakek. Aku pun keluar kamar dan meninggalkan Shani sendirian untuk menata barang bawaannya. Aku mencari Kakek dimana. Saat bertemu, aku menanyakan tentang kasur itu. Kakek memberitahuku dimana letaknya dan segera ku ambil.

Setelah menemukannya, aku bawa kasur tersebut ke kamarku. Disana aku tidak melihat Shani. Tapi tas ransel dan hp Shani masih ada diatas kasur. Dia sedang keluar, pikirku.

Setelah menata kasur yang kubawa dilantai, aku pun duduk diatasnya. Karena kasur itu letaknya dibawah dan sejajar dengan lemari meja tempat Shani menyimpan bajunya tadi, tak sengaja mataku melihat pakaian dalam milik Shani.

Rasa penasaran pun menghantui diriku. Akhirnya, aku melihat-lihat pakaian dalam milik Shani.

"Item semua..." ucapku sambil melihat pakaian dalamnya itu.

Aku tidak berani menyentuhnya, karena Shani pasti mengetahuinya. Lalu, pintu kamar mandi terbuka. Aku dengan cepat duduk kembali dikasur bawah.

"Wah, ada kasur ternyata," ucap Shani setelah mengganti pakaiannya dengan pakaian yang lebih tipis.

"Iya, baru inget Kakek nyimpen kasur kecil," balasku.

Mataku salah fokus terhadap dadanya yang terjiplak sangat dengan baju yang Shani kenakan. Beralih dari dadanya, karena takut ketauan oleh Shani, aku melihat kebawah, dan itu kesalahan besar. Karena tak sengaja aku melihat pantatnya yang menyembul itu.

Aku menahan sekuat tenaga agar adik yang satu tubuh denganku tidak bangun.

"Kakak gak bawa mainan?" tanya Shani setelah tiduran tengkurap diatas kasur.

Aku menoleh dan menatap wajahnya yang sejajar denganku itu.

"Mainan apa?" tanyaku.

"Gak tau, anak cowok kan biasanya punya laptop. Kakak punya gak?" tanya Shani.

"Oh, ada kok, tapi dipake sama Ayah kayaknya," jawabku.

"Yah, terus kita ngapain nih? Masih jam 8," ucap Shani sambil menengok ke jam dinding di atas pintu.

Disaat Shani menengok, aku melihat tubuh belakangnya itu. Ah ya ampun, ada apa denganku hari ini? Tidak biasanya aku seperti ini. Aku dengan cepat melihat ke tempat lain saat wajah Shani kembali menatapku.

"Ya udah tidur aja," ucapku.

"Belum ngantuk," balas Shani.

"Kalo lampunya dimatiin, pasti ngantuk kok Shan," ucapku.

"Hmmm, ya udah deh..." ucap Shani lalu bangkit dari kasur dan mematikan lampu.

Shani lalu berbaring telentang diatas kasur. Tak lama, aku melakukan hal yang sama dibawah sini. Sialnya, keadaan gelap ini malah membuat otakku membayangkan tubuh Shani.

Di otakku, Shani sedang menggodaku dengan membuka pakaian yang Ia kenakan satu persatu. Shani menggodaku lagi dengan pakaian dalamnya yang berwarna hitam itu. Wajah Shani dibayanganku seakan memintaku untuk memuaskan dirinya. Bahkan, entah darimana tapi telingaku terngiang oleh suara desahan Shani.

Kemaluanku pun bangkit. Dengan segera aku menutupi tubuhku dengan selimut. Lalu, aku melakukan hal yang seharusnya tidak kulakukan. Mengocok kemaluanku sambil membayangkan Shani sedang kusetubuhi.

"Ah... Shani..." desahku pelan sambil mengocok kemaluanku dibawah sana.

Karena kurang puas, aku bangun dari tidurku kemudian duduk dan mengintip Shani yang diatas. Dia tidur menghadap tembok, dan aku dapat dengan jelas melihat punggungnya itu walau dalam gelap. Aku kembali mengocok sambil melihat tubuh belakang Shani dari atas hingga bawah. Kubayangkan dirinya sedang kusetubuhi dengan gaya doggystyle.

"Shani... Shani..." ucapku dengan pelan.

Masih kurang puas, aku berdiri dari kasur. Ku cek dirinya sudah tidur atau belum. Ternyata dia sudah terlelap. Aku mengangkat sedikit kaos tipisnya itu hingga punggungnya yang putih terlihat.

Nafsuku semakin meningkat, dan aku mengocok kemaluanku semakin cepat dalam posisi berdiri sambil memandangi punggungnya. Sesekali aku melihat wajah Shani yang sedang tidur itu. Aku terus membayangkan diriku sedang bersetubuh dengan Shani. Tak berselang lama, aku merasa akan mengeluarkan cairanku. Aku kembali duduk lalu memejamkan mata dan merasakan nikmatnya cairan yang menyemprot keluar.

"Huuh... Huuh... Huuuh..."

Aku membuka mataku kemudian menoleh ke Shani. Dia masih tertidur. Haaah, lebih baik aku segera tidur saja sebelum kemaluanku bangkit lagi akibat terlalu sering memandangi tubuh Shani.
Part 2




[​IMG]




Suara bisikan seorang perempuan membangunkanku. Aku membuka mata dan mengerjap-ngerjap hingga mataku terbuka lebar. Shani, sedang memandangku dari kasur atas. Rupanya dia yang membangunkanku.

"Jam berapa?" tanyaku sambil mengucek mata.

"Jam setengah 8," jawab Shani.

"Haah? Masih pagi banget," balasku.

"Emang kenapa? Gak biasa bangun pagi ya?" tanya Shani.

"Bukan enggak biasa, tapi libur begini itu enaknya bangun siang," jawabku.

"Ih kak Indra, bilang aja males," balas Shani lalu berguling ke samping membuatku tidak melihat wajahnya lagi.

Aku menarik selimutku kembali. Tapi, belum sampai aku tidur lagi, Shani menarik selimutku.

"Jauh-jauh ke Jogja jangan tidur, ayo mending keluar cari udara segar, mumpung masih pagi. Sinar matahari juga sehat jam segini," Shani menceramahiku.

"Ah, iya-iya," balasku pasrah.

Aku duduk dahulu untuk mengumpulkan nyawa. Shani berjongkok di sebelahku untuk mengambil pakaian yang Ia simpan di lemari meja. Aku memperhatikan dirinya yang sedang sibuk memilih baju itu.

"Mau mandi?" tanyaku.

"Enggaklah, mandinya nanti kalo udah selesai jalan pagi," jawab Shani.

"Terus mau ngapain?" tanyaku.

"Nyiapin buat mandi nanti," jawab Shani lalu menutup pintu lemari.

Dia menatapku lalu tersenyum.

"Ayo kak, cuci muka dulu," suruh Shani.

Ya, lebih baik kuturuti saja. Daripada nanti dia berisik terus. Aku bangkit dan menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan sikat gigi. Setelah itu aku keluar dan Shani sudah tidak ada di kamar.

Aku keluar mencari keberadaan Shani. Ternyata dia sudah ada di teras depan dan sedang mengobrol bersama dengan Ayah. Aku menghampiri mereka berdua.

"Ini buat beli makanan nanti," Ayah memberikanku uang untuk membeli sarapan di jalan nanti.

Setelah menerima uang itu, aku dan Shani pergi mengelilingi kampung. Suasana kampung masih sepi. Entah mereka masih beristirahat atau sedang pergi ke sanak saudara mereka. Tapi yang jelas, kampung ini sepi sekali.

"Sepi begini mau cari makan dimana?" tanyaku pada Shani.

"Euuumm..." Shani tampak berpikir.

"Iya juga ya dimana?" ucap Shani pada akhirnya.

"Kamu kan yang tinggal di sini Shan, yang sering lebaran di sini. Masa gak tau tempat jual makanan yang buka dimana," ucapku.

"Masih suasana lebaran kak, susah nyarinya kalo gak ke mall," balas Shani.

Ya, Shani ada benarnya juga. Akhirnya, kami pun berputar-putar hingga keluar ke jalan besar untuk mencari makanan. Sialnya, kami tidak menemukan satu pun warung makan yang buka, atau pedagang keliling.

Jalanan Jogja masih sepi. Motor dan mobil yang melewati kami dapat dihitung menggunakan jari. Sambil berjalan dengan harapan menemukan warung makan atau pedagang, kupandangi wajah Shani dari samping.

Dalam hati aku menyesal dan menyalahkan diriku sendiri setelah apa yang kulakukan kemarin malam. Perempuan di sebelahku ini saudariku sendiri. Tidak seharusnya aku melakukan hal seperti semalam. Tapi, tampaknya semalam logikaku dikalahkan oleh nafsu.

"Kak! Ada yang buka tuh!" seru Shani sambil menunjuk ke arah warung yang dimaksud.

"Wah iya, ya udah hayuk kesana!" ajakku lalu menggandeng tangannya.

Sesaat setelah makanan kami dihidangkan, aku mengajak Shani mengobrol.

"Shan..."

"Ya kak?" tanya Shani lalu memandangku sambil menyuap sesendok makanan.

"Kakak mau..." ucapku terpotong.

"Mau apa?" tanya Shani setelah menelan makanannya.

"Kemarin malam, sewaktu kamu tidur," ucapku.

"Kakak, bayangin kamu..." lanjutku dengan perasaan takut.

Aku takut dia marah. Aku takut dia akan mengadu kepada kedua orang tuaku. Tapi, aku tau, seharusnya aku tidak takut. Jika dia mengadu, jika dia marah, itu sudah konsekuensinya. Perempuan mana yang tidak akan marah, jika dirinya dijadikan sebuah objek pemuas nafsu walau hanya dalam bentuk fantasi saja oleh saudaranya sendiri.

Shani diam cukup lama memandangiku. Aku yang ditatapnya itu hanya bisa menatap makanan dihadapanku.

"Kakak... Bayangin aku apa?" tanya Shani.

Aku memberi jeda sebentar agar aku dapat dengan lancar memberitahunya.

"Ya, itu... Berhubungan..." jawabku.

"Kenapa kak?" tanya Shani.

Kenapa? Jujur, aku sendiri tidak tau kenapa. Apa karena aku melihat daleman miliknya? Atau akibat aku melihat lekukan tubuhnya sewaktu Ia selesai berganti pakaian?

"Ya udah, gakpapa... Berarti kakak masih normal," ucap Shani.

Perkataan yang keluar dari Shani sungguh tidak terduga. Aku mendongak dan menatap dirinya. Dia kemudian tersenyum lebar kepadaku.

"Maaf ya..." ucapku.

"Gak usah minta maaf," balas Shani.

"Gak marah?" tanyaku hati-hati.

Shani menggeleng.

"Kalo yang bayangin kakak, aku gak marah," ucapnya.

Lagi, perkataannya itu membuatku kaget. Tapi, aku menjadi lega karenanya. Dengan begini, tidak ada rahasia yang perlu kupendam. Aku pun melanjutkan makan sambil mengajak Shani mengobrol. Tapi kali ini, aku tidak menyinggung mengenai fantasiku padanya.

Setelah selesai makan, kami kembali menuju rumah. Shani langsung pergi mandi, sementara aku bersama dengan Ayahku membantu Kakek mencuci mobil di halaman depan rumah.

Sewaktu kami mencuci mobil, Viny lewat di depan kami. Aku menegur sapanya dan membicarakan sedikit tentang janji kami nanti siang.

"Cie, udah akrab nih ceritanya?" tanya Ayahku setelah Viny pergi.

Aku hanya tersenyum sambil menyirami mobil dengan air.

"Ajak Shani ya, kasian dia dirumah sendirian nanti," lanjut Ayahku.

"Iya Yah," balasku.

Selesai mencuci mobil, aku segera masuk ke kamar. Rupanya Shani belum selesai mandi. Suara air masih terdengar dari dalam kamar mandi. Aku pun duduk di atas kasur sambil bermain hp lalu mengecek pesan yang datang.

Selagi membaca pesan dari grup kelasku, seorang teman mengirimiku sebuah video. Kubuka video itu. Aku kira itu sebuah video lucu, atau apa. Ternyata dia mengirimiku sebuah video panas.

Kupelankan volume hpku dan aku tonton video itu hingga habis. Celanaku pun terasa sempit. Sambil kutonton, sambil sesekali tanganku mengelus-elus penisku yang tertahan celana.

Ketika film selesai diputar, tiba-tiba aku tergoda untuk mengintip Shani yang sedang mandi. Aku pun berjalan ke depan pintu kamar mandi, dan aku mulai mengintip melalui lubang kunci. Meskipun lubang kunci itu kecil, tapi aku dapat melihat tubuh putih Shani dengan jelas.

Aku pandangi tubuhnya yang putih ranum itu sambil mengelus-elus penisku. Tangan Shani yang sedang mengusap-usap dadanya itu membuat nafsuku semakin meningkat. Aku ingin melihat wajahnya sebentar saja. Aku berjongkok, dengan harapan wajah Shani dapat terlihat. Sayangnya, hanya bibirnya saja yang dapat kujangkau.

Aku kembali berdiri dan memandangi tubuh indah Shani. Lekukan tubuh Shani benar-benar sempurna. Shani yang dulu sering bermain denganku, telah tumbuh menjadi gadis yang sempurna. Bulu-bulu halus di area kemaluannya itu terlihat rapih. Ah, mungkin terasa enak jika aku dapat mencium vagina milik Shani.

Sial, baru tadi aku meminta maaf pada Shani, sekarang aku akan melakukan hal ini lagi. Tak tahan lagi, aku menurunkan celana beserta celana dalamku. Aku mengunci pintu kamar, jaga-jaga jika orang tuaku, atau Kakekku tiba-tiba membuka pintu. Aku mulai mengocok penisku sambil melihat tubuh Shani dari lubang kunci ini.

"Ooooh, Shani... Ohhh, sayang, kakak mau tubuhmu..." racauku sambil terus mengocok.

Shani memijit-mijit dadanya yang basah terkena air itu. Lalu, tangannya menuju ke bawah, dan berakhir di vaginanya. Shani menggosok vagina dirinya dengan dua jari tangannya. Aku semakin mempercepat kocokanku. Nafasku menjadi tidak beraturan.

Shani berbalik lalu sedikit menungging. Aku dapat dengan jelas melihat pantatnya yang putih mulus itu beserta kedua lubang miliknya. Kemudian, jari telunjuk Shani Ia masukkan kedalam lubang anusnya kemudian mengocoknya.

"Aaaah, Shanii, ya terus sayang... Uuuh, enak kan di anal..." racauku sambil membayangkan diriku sedang meng anal Shani.

Setelah jari Shani selesai di lubang anusnya, Shani kembali berdiri tegap. Ah, lebih baik segera kutuntaskan saja sebelum Shani selesai mandi. Aku menjauh dari pintu kamar mandi, dan aku mengambil celana dalam hitam milik Shani dari lemari.

Entah apa yang merasukiku, tapi aku tidak bisa menolaknya. Aku gesek-gesek penisku ke celana dalam hitam Shani sambil membayangkan saudaraku itu.

"Oouuuh, sayangku, Shaniii, aaaarrgghh!!!"

Crooot croooot croooot croooot!

Aku lepas kontrol. Aku rebahan di kasur sambil menikmati sisa-sisa orgasmeku. Ku biarkan celana dalam Shani menyangkut di kepala penisku.

Tidak ada lagi suara air dari kamar mandi. Kurasa Shani sudah selesai. Dengan segera aku bangkit dan mengenakan celanaku kembali. Lalu, celana dalam Shani untuk sementara aku sembunyikan. Karena spermaku membasahi celana dalamnya itu.

Ketika aku sedang mencari tempat untuk menyembunyikan celana dalamku, tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka. Shani, dengan tubuhnya tertutup oleh handuk, menatapku kaget. Tidak, dia tidak melihat celana dalamnya yang aku pegang. Melainkan dia kaget karena ada aku disini.




[​IMG]




"Ih kakaaaak, keluar dulu ih, Shani mau ganti baju," ucap Shani kemudian cemberut.

"Errr, i-iya Shan..." ucapku lalu berjalan ke arah pintu.

Dan hap! Sial, dia menemukan celana dalamnya yang kusimpan di kantung celana.

"Kakak!" ucap Shani.

"Aiiih, i-itu kakak..." aku takut kali ini dia akan mengadu.

"Ih kakak maaah, kan aku cuman bawa celana dalem sedikit," ucap Shani.

"Maaf Shan," aku meminta maaf padanya sambil menatap lantai.

Tidak terdengar suara lagi darinya. Tiba-tiba, kedua kakinya itu berada di depan kakiku. Lantas, aku mendongak dan melihat dirinya yang berdiri dekat denganku.

"Segitu pengennya ya kak? Sampe ngebayangin aku?" tanya Shani.

Aku memikirkan jawaban yang tepat untuk menjawabnya. Satu kata yang salah, mungkin akan menyebabkan dia marah, atau yang lebih parah, dia akan benar-benar mengadukanku.

"Maaf Shan, kakak kebawa nafsu, soalnya tadi temen kakak ngirim video yang aneh-aneh sih," ucapku.

Aku menatap mata Shani. Tapi hanya berlangsung sebentar karena tatapannya begitu tajam kali ini. Oke, dia marah. Tiba-tiba, handuknya itu jatuh ke lantai.

Aku melihat dengan jelas, tubuh Shani dalam jarak yang dekat. Dadanya yang tidak terlalu besar itu memiliki puting berwarna coklat muda dan terlihat begitu menggoda. Bulu-bulu halus disekitar daerah kewanitaannya itu benar-benar rapih.

"Kakak gak usah ngebayangin lagi, ini Shani kasih kalo kakak masih mau jadiin Shani bahan masturbasi kakak," ucap Shani yang sangat tidak kuduga.

Aku menatapnya tidak percaya. Kemudian Ia melangkah mundur sambil menarik lembut tanganku. Shani mendudukkan diriku ke pinggir kasur. Lalu Shani menutup gorden kamar dan ruangan pun menjadi berwarna merah akibat sinar matahari menyinari gorden kamar.

Shani lalu duduk di sebelahku.

"Dibuka dong kak, kasian itu kakak nanti," ucap Shani sambil menunjuk kemaluanku menggunakan dagunya.

"Shan?" tanyaku meyakinkannya.

"Iya gakpapa kak..." jawab Shani.

Aku tidak tau apa yang ingin aku lakukan. Ini tidak boleh terjadi. Shani sudah melepas handuknya. Seharusnya aku melarangnya sebagai saudara yang lebih tua. Tapi, nafsu mengalahkan itu semua. Dengan segera aku kembali melepas celanaku. Seketika itu penisku langsung mencuat ke atas. Mata Shani melotot melihat penisku.

"Pertama kali liat ya?" tanyaku.

Shani mengangguk cepat. Matanya itu tidak berpindah sama sekali dari penisku.

"Kakak kocok ya?" tanyaku.

"Ko-kocok?" tanya Shani lalu menatapku.

"Shani sekarang duduk deket tembok, terus ngangkang deh," suruhku.

Shani tidak menolak. Dengan segera Ia melakukannya. Shani duduk bersenderkan tembok. Lalu Shani membuka selangkangannya itu.

"Gi-gini?" tanya Shani malu-malu sambil menutupi vaginanya dengan tangannya.

Aku pegang tangan yang menutupi vagina itu, lalu kupindahkan ke kasur agar tidak menghalangi pemandanganku. Terlihatlah, vagina milik Shani yang masih tertutup rapat itu. Kubuka vagina Shani dengan jari telunjukku. Shani mendesah saat aku melakukannya. Kemudian, aku duduk didepan Shani dan mulai mengocok penisku dengan tanganku sambil memandangi tubuh Shani dan vaginanya yang berwarna merah muda itu.

"Aaah, Shaniii," desahku sambil memandanginya.

Shani hanya menatapku saja saat aku melakukan onani di hadapannya.

"Shan, kamu mainin dada kamu dong," pintaku.

"Hah? Mainin? Kayak gimana kak?" tanya Shani.

Aku pun mendekatkan tubuhku ke tubuhnya. Penisku pun bergesekan dengan bibir vagina Shani. Kutempelkan penisku itu di bibir vaginanya dan mulai mengajari Shani cara bermain dengan payudaranya.

"Gini Shan..." ucapku.

Aku memegang kedua payudaranya dengan tanganku.

"Mmmmhhh..." desah Shani tertahan.

Kuremas-remas, kuputar-putar payudara Shani berkali-kali sambil kugerakkan penisku perlahan agar bergesekkan dengan bibir vaginanya.

"Kakaak, uuuhh..." desah Shani.

"Enak kan Shan?" tanyaku.

"Mmmmhh, aaaahhh, i-iyaaah, remes lagi kak, Shani sukaa," minta Shani.

Aku pun memberikan apa yang dia minta. Aku peras payudara Shani dan dia mendesah sekaligus menggelinjang. Kemudian, aku mulai memainkan putingnya menggunakan jari telunjukku.

"Ouuuuh, kaaak, gelii, uuuh," racau Shani saat aku menekan-nekan puting susunya.

"Aaaah, kaaak! Shani, mauuu pipiiis! Kakaaak! Aaaahh!" tubuh Shani terangkat ke atas.

Ku berhentikan semua aktifitasku. Tubuh Shani menggelinjang begitu hebat. Bahkan kepala Shani sampai mendongak ke atas merasakan kenikmatan orgasmenya.

"Aaahh aaaah, uuuh, maaf kaaak," ucap Shani setelah Ia selesai dengan orgasmenya.

"Gakpapa Shan, keluarin aja, enak kan?" tanyaku.

Dia mengangguk lemah. Aku mendekat ke wajahnya, lalu berbisik ke telinganya.

"Mau yang lebih enak gak?" tanyaku.

Shani mengangguk.

"Mau kak," ucap Shani.

Ku tarik kepalaku mundur, lalu menuntun Shani agar Ia rebahan di kasur. Setelah Ia tidur terlentang, aku lepas bajuku kemudian aku tindih tubuh Shani.

"Ikutin aja ya Shan," ucapku yang dibalas anggukan darinya.

Kucium lembut dagu Shani. Kemudian berpindah ke pipi, lalu berakhir di bibirnya. Awalnya, aku hanya menempelkan bibirku ke bibirnya, tapi setelah itu, kupaksa mulutnya agar terbuka menggunakan lidahku. Kami pun berciuman. Kami saling bertukar air liur di dalam sana.

"Mmmmhh, mmcch, acchh, mmmhh," hanya suara decakan kami berdua yang mengisi kamar ini.

"Haaah haaah haaah haaah, mmmhhh," aku mengambil nafas dahulu sebelum melanjutkan ciuman panas kami.

Sambil berciuman, tanganku tak tinggal diam. Aku elus-elus lengan Shani. Kemudian berpindah ke perutnya. Aku elus dengan lembut dan pelan perutnya itu. Dan hal tersebut membuat Shani bergelidik geli.

"Aaah, kakak," ucap Shani setelah aku melepaskan ciumanku.

Bibirku pun beralih ke lehernya. Aku ciumi lehernya yang berwarna putih serta jenjang itu.

"Oouuuuh, kaaaak, eengghh," desah Shani sambil memeluk punggungku.

"Sluuurp, aaah, mmcchh, aaaah, sluuurp..."

"Kaak, dada Shani, remes lagi kak," pinta Shani.

Shit! Kurasa dia ketagihan dengan permainanku di payudaranya. Tak mau terburu-buru, ku tolak permintaan Shani. Shani melepas pelukannya, dan tangannya itu kini beralih ke payudaranya dan sedang meremasnya.

"Ouuuhh, aaaah aaaaaahh mmmmhh, aaaww," desah Shani.

Setelah meninggalkan jejak di leher putih Shani, aku kembali mencium dirinya. Kugenggam satu tangan Shani yang sedang memainkan payudaranya, lalu kunaikkan ke sebelah kepalanya. Tangan yang satunya ku arahkan agar memeluk diriku. Baru setelah itu, aku meremas-remas payudara Shani.

"Aaah, lagii kaak, yang kenceng doooong ouuuh aaaww yang kenceeeng," pinta Shani.

Aku pun menuruti permintaan Shani dan memeras payudaranya dengan kencang. Ia berteriak kesakitan tapi aku tidak berhenti melainkan aku terus memeras payudara Shani. Kuputar-putar puting Shani yang berwarna coklat muda itu sambil sesekali aku tarik pelan.

"Kakaaak, enaak kaaak," racau Shani.

Aku yang tergoda oleh putingnya itu pun langsung menyambarnya dengan mulutku. Kuhisap sekuat tenaga puting susu milik Shani. Kulepas, lalu kusatukan kedua payudara Shani hingga kedua putingnya terlihat seolah menyatu. Lalu, kusambar kedua puting itu dan lidahku bermain-main dengan puting Shani.

"Aaaah, kaaak, kaak Indraaaarrrgghh!" erang Shani.

Shani memeluk punggungku sekuat tenaga. Kepala Shani Ia dangakkan hingga berada dekat dengan telingaku. Suara deru nafasnya, desahannya sewaktu mengalami orgasme untuk kedua kalinya dapat kudengar dengan jelas.

"Aaaaahh haaah haaah haaaah," Shani kelelahan setelah orgasme keduanya itu.

Kurasa sudah cukup main-mainnya. Aku mengangkat badanku dan duduk di depan selangkangan Shani yang entah sejak kapan sudah terbuka lebar. Ku pandangi vagina merah mudanya yang sudah basah akibat cairan orgasmenya itu. Ku elus mulut vagina Shani menggunakan jariku, dan Shani langsung terjingkat, tapi dengan segera kembali tenang.

"Basah banget Shan," ucapku setelah selesai mengelus bibir vaginanya.

Aku emut jariku yang terlumuri oleh cairan orgasmenya. Rasa asin pun terasa di lidahku. Shani, menatapku dengan penasaran.

"Kenapa? Mau?" tanyaku.

"Enak gak?" tanya Shani.

"Cobain aja Shan," ucapku lalu mengelus lagi bibir vagina Shani.

Kemudian, aku suruh Shani untuk mengemut jariku yang terlumuri cairan orgasmenya. Shani awalnya takut, karena Ia takut rasanya tidak enak. Tapi, setelah Ia menjilati jariku sedikit, Shani langsung mengemut jariku.

Tak tinggal diam, jari jemari tanganku yang satu lagi bermain di liang vagina Shani. Kumaju mundurkan jari telunjukku dengan pelan sambil memandangi wajahnya yang sedang menikmati jari tanganku yang di emutnya itu.

"Mmmmhhh, mmmhhh, uuhhh," desah Shani saat aku mengocok vagina miliknya.

"Mmcchh aaaah, kaaak, enak bangeeet kaaak," ucap Shani.

Aku tersenyum. Lalu aku berhenti mengocok vagina Shani. Aku tarik tangan Shani hingga Ia duduk. Kemudian, aku menyuruh Shani untuk mengocok penisku.

"Kocokin ya Shan," mintaku.

Shani dengan takut memegang penisku. Lalu dia menggenggam batang penisku dengan kencang.

"Aaah Shaan, agak lebih lembut sayang," mintaku.

Shani melonggarkan pegangannya. Kemudian aku menyuruh Shani untuk mengocok dengan perlahan.

"Aaah, iya Shan, gituuu... Terus, kocokin pelan-pelan, uughh, enak banget Shan kocokanmu," desahku menerima perlakuan darinya.

"Ini lubang pipis ya?" tanya Shani saat Ia menyadari adanya lubang di kepala penisku.

"I-iya Shan jangan di- Ahhhkk!" kuku Shani menusuk masuk kedalam lubang penisku itu. Walau tidak menusuk dalam, dan hanya ujung kukunya saja yang berhasil masuk, tapi tadi itu benar-benar membuatku ngilu dan pertahananku hampir jebol karenanya.

"Jangan lagi Shan, aaaah haaah haaaah," desahku.

"Hehe, maaf kak," ucap Shani sambil terus mengocok penisku.

Hampir ada dua menit Shani mengocok penis milikku, aku pun menyuruh Shani untuk menjilati batang penisku. Awalnya dia ragu, serta malu. Tapi akhirnya Shani mau juga.

Shani menunduk agar dapat mendekat dengan penisku. Lalu Ia julurkan lidahnya dan mulai menjilati batang penisku.

"Ouuhh, enak Shan... Atasnya juga Shan, di jilat, sama emut Shaaaan, oouuuuh," desahku menikmati kehangatan lidah Shani di bawah sana.

Penisku pun terasa basah. Dan rupanya, Shani sudah mengemut kepala penisku itu. Aku mendorong kepalanya pelan agar penisku masuk lebih dalam kedalam mulutnya. Lalu aku tarik lagu, kemudian aku dorong lagi, hingga akhirnya Shani melakukannya sendiri.

"Sluuurpp, mmhh, mmmcch, sluuuurp,"

"Ouuh Shanii, enak banget kulumanmu sayang," racauku.

Aku dibuat merem melek akibat kuluman Shani. Tak ingin pertahananku jebol, aku menyudahi kulumannya. Aku menyuruh Shani untuk tidur kembali. Setelah Shani tidur, kubuka selangkangan Shani lebar-lebar.

Aku gesekkan penisku dengan bibir vaginanya. Kami berdua mendesah mendapatkan kenikmatan seperti ini. Lalu, ku arahkan kepala penisku ke lubang vaginanya.

"Gakpapa Shan?" tanyaku sebelum melanjutkan aksiku.

"Masukin aja kaaak," jawab Shani.

Aku, dengan bantuan tanganku, mengarahkan penisku agar masuk ke dalam vagina Shani. Setelah kepala penisku menembus masuk, aku dorong pelan-pelan penisku di dalam sana.

"Aaaaah, saakiiit, kaaak," desah Shani.

Penisku terhalang sesuatu. Yang kuyakin pasti selaput daranya. Kudorong lebih bertenaga kali ini. Dan bless! Penisku berhasil menembus selaput daranya.

"Aaakkhh! Saakiiiiit! Sakiiiit!" teriak Shani tertahan.

Tangannya meremas sprei kasur begitu kuat hingga membuat kasur terlihat berantakan. Matanya terpejam untuk mengurangi rasa sakit di dalam vagina miliknya. Nafasnya yang tertahan dan tidak teratur itu terus terdengar. Aku tidak berani melanjutkan aksiku. Bisa bahaya jika aku melanjutkan secara paksa.

Aku cabut pelan penisku agar keluar. Dapat kulihat batang penisku ternoda darah keperawanan Shani. Setelah Shani kembali tenang, aku memasukkan kembali penisku. Kali ini tidak perlu pelan-pelan, aku langsung memasukkannya saja dan menghujam vaginanya begitu dalam.

"Aaaahh, aaahhhh aaah, aaaah aahhh ouuuh kak Indraaa, sakiit, pelaan pelaaan ouuuh," desah Shani saat aku sudah menggenjot dirinya.

Ku genjot vagina Shani dalam tempo sedang, pelan lalu cepat. Ku ulangi tempo itu hingga Shani kembali orgasme.

"Aahh, kakaaak, uuuuh, enaak, aaah teruuus, teruuus, teruuus, ouuuh," desah Shani terus menerus.

Setelah bosan dengan gaya ini, aku menyuruh Shani untuk menungging. Dia dengan segera melakukannya. Kemudian, aku berlanjut menyerang Shani dari belakang sini.

"Ouuuh, ouuuh, aaaah, aaaah, aaaww," racau Shani.

Aku membuka pantat Shani lebar-lebar dan terlihatlah lubang anus milik Shani. Aku masukkan jempolku kedalam sana untuk menambahkan kenikmatan bagi Shani.

"Ouuuh kaak, keluarin kaak, uuuh, aaaah, enggghh, aaaah aaahhh mmmmhh," racau Shani.

Aku memeras pantat putih Shani sambil terus menyodok vagina Shani dari belakang sini. Sesekali aku tampar pantat putihnya itu, yang membuat dia merintih kesakitan. Kemudian ku dekatkan dadaku ke punggung Shani. Kujilati leher belakang Shani lalu kuciumi. Tanganku meraih payudaranya yang menggantung kebawah itu. Aku remas-remas payudara Shani untuk menambahkan kenikmatan persetubuhan kami.

"Aaah, iyaaa kaaak, enaaaak, di remes sambil di, ouuuh, di sodok kakak sambil diremes enaak, aaahh aaah aahh," racau Shani.

Tanganku yang satu memegang dagu Shani dan kusuruh Shani untuk mengemut jariku. Shani pun melakukannya. Aku percepat genjotan diriku. Kami berdua pun meracau tidak karuan mendapatkan nikmat yang luar biasa ini.

"Aaah haaah Shaniii, sayangku,"

"Aaahkk, kak Indraaa, kakaaak, uuuuuh, aaaah aaaaah,"

Aku menyambar bibir Shani saat Ia menoleh kebelakang. Aku menggenjot dirinya dari belakang sambil berciuman dengan ganasnya.

"Mmmcch, aaah Shanii, kakak mau keluar," ucapku.

"Aaaaah ouuuh, keluarin aja kak, keluariiin," desah Shani.

Aku percepat pergerakanku.

"Aaaah aaaah kakaaak, uungghh, eennggghh, mmmmhh, aaaah kak Indraaa, aaaah,"

"Eengggh! Shaniii!" erangku lalu mencabut penisku dan mengocok penisku dengan cepat.

Croooot croooot crooooot croooot crooooot!

Spermaku muncrat keluar mengenai pantatnya, punggungnya, dan ada sedikit yang menciprati rambutnya itu. Kepalaku mengadah ke atas menikmati rasa yang luar biasa ini. Kemudian, aku menjatuhkan tubuhku ke tubuh Shani yang tengkurap itu.

Aku peluk Shani dari atas sini sambil menciumi rambutnya.

"Makasih Shan, kakak sayang kamu..." ucapku.

"Haaah, Shani juga kak, Shani sayang kakak," balas Shani.

Aku mempererat pelukanku dan kubenamkan kepalaku ke lehernya. Kami sama-sama puas kali ini. Dan kami memutuskan untuk tetap berada dalam posisi seperti sekarang.


Aku sedang berada di teras depan rumah sambil menunggu Shani memakai sepatu ketsnya. Dia menggunakan baju polos berwarna hitam yang memperlihatkan lekukan tubuhnya itu. Baju itu dibalut lagi olehnya dengan jaket hitam yang Ia buka. Untuk celana, dia menggunakan celana jeans berwarna abu-abu gelap. Dan, dia menggunakan kacamatanya. Sungguh sangat cantik sekali saudariku ini.

Aku mengajaknya untuk pergi jalan-jalan bersama Viny. Kasihan juga jika dia ditinggal di rumah. Setelah Ia selesai mengikat tali sepatunya, kami berjalan beriringan menuju rumah Viny.

Tok tok tok

Pintu rumah terbuka tak lama kemudian. Viny melihatku lalu melihat Shani di sebelahku.

"Shani kan ya?" tanya Viny meyakinkan dirinya.

"Iya kak, hehe. Apa kabar?" tanya Shani.

"Baik, kamu sendiri?" tanya Viny.

"Baik juga kak, hehe," jawab Shani.

"Waah, udah lama ya kita gak ketemu," ucap Viny.

"Iya, terakhir sewaktu aku masih kecil ya kita main bareng," balas Shani.

"Iya, yang Shani jatuh nyusruk di depan rumah," sahutku yang membuat Viny tertawa tapi tidak dengan Shani. Dia mencubit pelan lenganku.

"Eh, eh, ada rame apa ini di luar? Loh, ada nak Indra sama nak Shani, eh iya kan ya Shani?" tanya ibu Viny sewaktu melihat kami di rumahnya.

"Iya tante, Shani," balas Shani.

"Suruh masuk dong Vin, kasian itu mereka berdiri di depan," ucap ibu Viny.

"Gak usah tante makasih, kita mau berangkat kok," ucapku.

"Udah siap kan Vin?" tanyaku.

"Udah kok. Ya udah ya ma, aku pergi dulu," ucap Viny pada ibunya kemudian mencium tangan ibunya itu.

Aku dan Shani melakukan hal yang sama setelahnya.

Kami bertiga pun berjalan beriringan menuju rumah Kakekku. Begitu sampai sana, aku langsung mengeluarkan mobil milik Ayahku dan langsung pergi keliling Jogja setelah Shani dan Viny naik. Viny duduk di kursi depan sementara Shani duduk di kursi belakang.




[​IMG]




Sambil menyetir, kami mengobrol mengenai destinasi pertama kami. Yaitu Keraton. Kami menuju ke tempat tersebut pertama kali karena tempat itu dekat dengan rumah Kakek. Begitu sampai sana, aku memarkirkan mobil di area parkir yang terlihat ramai. Wah, padahal masih bau-bau Lebaran, tapi ternyata tempat ini ramai juga ya.

Akhirnya, kami mendapatkan spot parkir yang lumayan jauh dari pintu keluar. Setelah memarkirkan mobil, kami berjalan kaki memasuki Keraton. Viny dan juga Shani menjadi guide tour dalam perjalanan ini. Meskipun, aku sendiri sebenarnya sudah tau isi dari Keraton ini. Tapi, karena tidak mau mengganggu serta tidak mau membuat mereka kecewa, aku mendengarkan penjelasan mereka.

"Di tempat itu nanti ada foto-foto Sultan dari yang pertama sampe terakhir kak!" seru Shani kemudian berjalan memasuki sebuah rumah tradisional yang ada di sini.

Sementara aku dan Viny, berjalan dengan santai di bawah terpaan sang mentari dan memilih untuk tidak masuk ke dalam sana. Viny tidak banyak bicara. Memang sudah sifatnya dari dulu pendiam. Jadi ya, mau tidak mau harus aku dulu yang memulai percakapan.

"Libur sampe kapan Vin?" tanyaku.

"Awal September udah masuk, kamu?" tanya Viny balik.

"Sama. Eh kamu kuliah jurusan apa sih?" tanyaku lagi.

"DKV," jawab Viny.

"Wiiih, jago gambar dong ya," ucapku.

"Enggak kok, gambarku biasa aja," balas Viny.

"Biasanya anak DKV itu beda loh," ucapku.

Viny tertawa pelan.

"Kamu jurusan apa?" tanya Viny.

"Aku ambil IT," jawabku.

"Maksud kamu teknik informatika?" tanya Viny.

Aku mengangguk.

"Oh, itu mah TI bukan IT, haha," Viny tertawa setelah itu.

"Ya sama aja, nanti kan kerjanya jadi IT," ucapku.

"Tetep beda," balas Viny.

"Iya deh iya," aku pun mengalah.

Kami berhenti di bawah pohon beringin besar yang ada di sini. Aku menyenderkan punggungku ke batang pohon tersebut sambil memandangi wajah cantik Viny. Ia yang tidak sadar aku pandangi itu sedang melihat-lihat ke sekeliling seperti sedang mencari sesuatu.

"Kamu sampe kapan di sini?" tanya Viny setelah melihatku.

"Hmm, gak tau yah... Kamu maunya sampe kapan?" tanyaku balik.

"Loh kok aku? Apa hubungannya?" tanya Viny kebingungan.

"Yaaa, temen deket aku di sini kan cuman kamu, jadi ya, gitu deh, hehe," jawabku.

Viny terdiam mendengar jawabanku. Matanya begitu lekat menatapku. Tiba-tiba suara Shani membuat kami berdua kaget.

"Hih, dicariin gak taunya malah berduaan di sini," ucap Shani.

"Hehe, sorry Shan," balasku.

"Aku udah ngomong panjang lebar di dalem sana tadi terus pas aku noleh bukan kakak tapi malah bule. Terus aku disangka guide tour di sana," ucap Shani lalu mendengus kesal.

"Kamu juga sih gak liat-liat dulu, hahaha," tawaku dan Viny terpecah dan itu semakin membuat Shani kesal.

Karena sudah tidak tau mau ngapain lagi di sini, kami pun pergi. Langit sudah berubah warna menjadi jingga di saat kami keluar dari Keraton. Langit yang berwarna jingga, terpadu dengan warna ungu yang terlihat indah itu menemani kami di perjalanan. Selanjutnya, kami menikmati sore hari hingga malam di jalanan Malioboro.

Kami singgah di warung nasi kucing atau angkringan untuk mengisi perut kami yang lapar. Di situ, kami makan dengan puas dengan harga yang relatif murah. Di tambah, pemandangan Malioboro malam hari yang ramai, sejuk, dan indah, membuat kami betah berlama-lama di sini.

"Eh Shani udah lulus SMA kan ya?" tanya Viny.

"Iya kak, tahun ini lulus," jawab Shani.

"Mau lanjut dimana?" tanya Viny.

"Kayaknya ke Jakarta deh kak," jawaban Shani membuatku tersedak wedang jahe yang kuminum.

"Huaanjay, ngapain ke Jakarta?" tanyaku.

"Kuliahlah kak, menuntut ilmu," jawab Shani.

"Di Jakarta? Sendirian?" tanyaku.

Shani menggeleng sambil tersenyum.

"Lah terus? Ayah Ibumu ikut?" tanyaku.

"Sama kakak lah," ucapnya lalu menunduk.

Butuh lima detik untuk membuatku sadar bahwa kakak yang Ia maksud adalah aku. Jadi, dia berniat untuk tinggal denganku di Jakarta? Lalu masuk di universitas yang sama denganku? Tidak ada salahnya sih... Tapi, kenapa harus di sana?

"Kemarin papa sama mama udah ngobrol sama om dan tante kok, dan mereka ngijinin, tinggal kakaknya, mau atau enggak..." ucap Shani.

Aku memandangi dia yang masih menunduk itu. Kemudian aku tatap Viny. Dia tersenyum padaku. Aku kembali menatap Shani dan memeluknya dalam dekapanku.

"Ya bolehlah! Aku seneng lagi di temenin sama saudaraku yang lemot kayak gini!" ucapku sambil mengacak-acak rambutnya.

"Ih kakak! Jangan di berantakin dong!" protes Shani lalu mendorongku.

"Dan aku gak lemot ya!" lanjut Shani.

Viny tertawa melihat kami berdua. Lalu kami bertiga pun ikut tertawa. Kami menghabiskan waktu tidak sampai tengah malam. Karena aku masih tau aturan. Aku membawa Viny dan aku tidak mau dia dimarahi akibat pulang terlalu malam. Jadinya, ya kami pulang setelah minuman kami habis.

Sampai di rumah, aku menyuruh Shani untuk masuk terlebih dahulu. Aku mau mengantar Viny sampai rumahnya sekaligus berterima kasih kepada orang tuanya karena sudah memperbolehkan aku membawa anaknya jalan-jalan. Tapi, sepertinya itu tidak akan terjadi. Karena orang tuanya tampak sudah tidur. Viny masuk ke dalam rumah menggunakan kunci cadangan yang Ia bawa.

"Makasih ya," ucapku.

"Sama-sama," balas Viny yang berdiri di ambang pintu.

Kami saling pandang dalam diam cukup lama. Hingga akhirnya aku sadar aku harus segera pulang atau aku bakal kekunci di luar.

"Ya udah Vin, aku pulang ya," ucapku.

"Eh Ndra!" panggil Viny ketika aku hendak berbalik.

"Hmm?"

"Tinggal sedikit lebih lama di sini ya?" minta Viny.

Aku tersenyum mendengar dia mengucapkan hal itu. Aku pun membalasnya dengan anggukan yang mantap, dan aku berlari menuju rumahku. Baru beberapa langkah, aku berbalik ke rumah Viny, dan dia masih berdiri di ambang pintu. Aku sekali lagi tersenyum kepadanya, dan Viny membalas senyuman itu.

Setelah sampai rumah, masih ada Ayahku dan Kakekku yang belum tidur karena sedang asik menonton televisi. Acara tinju. Pantas saja tidak ada yang tidur. Kakek suka sekali dengan tinju. Hal itu menurun pada Ayahku. Tapi sayangnya, aku tidak begitu menyukai tinju. Tapi karena aku masih belum begitu ngantuk, aku pun duduk di kursi paling pinggir dan ikut menonton.

Ayah menanyaiku apa saja yang kami lakukan tadi siang sampai malam. Aku menjawabnya sekaligus bercerita apa yang kami lakukan. Aku juga sempat menanyai mengenai Shani, yang akan kuliah di Jakarta dan tinggal bersama dengan kami. Ayahku sendiri yang memintaku untuk menjaga Shani di sana.

Karena rasa kantuk yang mulai melanda, dan acara tinju tak kunjung selesai. Aku pamit lebih dulu untuk tidur. Di kamar, Shani sudah tertidur dalam posisi meringkuk menghadap lantai di kasurnya. Aku yang melihat dirinya tidur tidak berselimut itu dengan spontan menyelimuti dengan selimutnya. Kupandangi wajah Shani yang tertidur itu. Ku benarkan helai rambut yang berantakan ke belakang telinganya.

"Haaaah..."

Aku pun melepas celana jeansku dan berganti ke celana pendek. Setelah itu, aku tidur di kasur bawah. Setengah jam aku memandangi langit kamar, tapi aku tidak bisa tidur. Sial, tadi di luar aku merasa ngantuk, sekarang sudah di atas kasur tidak bisa tidur.

Terdengar suara Ayahku yang mengucapkan selamat tidur pada Kakekku di luar sana. Ah, mereka sudah selesai. Padahal baru ingin bergabung lagi. Ya sudahlah, aku tiduran saja sampai benar-benar merasa ngantuk.

Berbagai posisi tidur dari yang biasa sampai yang tidak biasa aku lakukan, tapi aku tidak bisa tidur juga. Aku pun mencoba meringkuk sambil memeluk guling dan memejamkan mata. Tiba-tiba, aku merasakan tangan yang melingkar di perutku. Sewaktu ku membuka mata, aku melihat tangan Shani di sana.

Aku pun menoleh ke belakang dan benar, dia tidur di belakangku sambil memelukku.

"Kasian banget sih gak bisa tidur," ucapnya.

Aku pun dengan segera berbalik menghadapnya.

"Lah, belum tidur ternyata," ucapku.

"Dari tadi kak..." balas Shani.

"Dari..."

"Dari kakak nyelimutin aku," potong Shani.

"Waah, kok gak bangun aja, kan kalo bangun enak ada yang kakak ajak ngobrol," ucapku.

"Ih, gak peka," balas Shani lalu memanyunkan bibirnya.

Tunggu. Gak peka apanya? Apa yang aku lewatkan? Aku mencoba berpikir keras saat ini untuk mencari-cari apa yang aku lewatkan. Menyerah, akhirnya aku meminta Shani untuk menjelaskan.

"Padahal aku udah sengaja gak pake selimut biar..." ucap Shani terputus.

"Biar apa?" tanyaku.

"Ya biar, gitu deh," jawab Shani.

"Tunggu, jangan bilang kamu mau..." ucapku namun terpotong oleh anggukannya.

Aku tersenyum sambil menatapnya.

"Nakal ya, berani ngegoda kakak kayak gitu," ucapku.

"Emangnya kakak gak kegoda?" tanya Shani.

"Sedikit sih, tadi," jawabku.

"Ih ya terus kenapa di diemin," kesal Shani.

"Ya, akunya juga gak tau kalo maksud kamu tadi itu mau ngegoa kakak, dan kakak ngeliat kamu udah kayak tidur beneran," ucapku.

"Huh! Alasan aja, dasar cowok gak peka sama cewek. Dikasih kode kayak begitu bukannya accmmmmhh!"

Aku melumat bibirnya itu agar Shani diam. Kami pun saling berpagutan dalam pelukan. Aku pererat pelukanku agar Shani semakin dekat denganku, begitu juga dengan Shani. Suara ciuman kami berdua mengisi keheningan kamar ini hingga kami kehabisan nafas masing-masing.

"Haaah haah haaah," suara nafas kami berdua seusai berciuman.

Ku tatap matanya. Ku elus pelan punggungnya, kemudian beralih ke rambutnya. Lalu ku kecup bibirnya singkat.

"Gak capek apa?" tanyaku.

"Enggak, mainnya kurang malem," jawab Shani.

"Ya udah sekarang kita main sampe capek gimana?" tanyaku.

Shani mengangguk dengan cepat yang disusul dengan ciuman darinya yang ditujukan padaku. Kali ini dia yang lebih agresif. Shani menciumku lebih ganas dari ciuman pertama tadi. Bahkan, sampai-sampai, posisiku sudah berada di bawahnya.

Aku yang berada di posisi ini pun tidak menyia-nyiakannya. Aku masukkan tanganku ke dalam bajunya dan kuremas kedua payudara Shani yang masih terbungkus bra itu. Shani mendesah di tengah-tengah ciuman kami.

"Mmmchhh ahhh mmmmhh," desah Shani setiap kali aku meremas payudaranya.

Aku pun memasukkan jari-jari tanganku ke sela-sela branya dan aku bermain dengan puting susunya. Itu membuat Shani semakin memeluk leherku lebih erat.

"Aahh, aaahh, ya kaaak, uuuh, enaak," desah Shani sesudah Ia mengangkat kepalanya.

Leher Shani yang ada di depan mataku itu pun ku sambar dengan lidahku. Ku jilati leher putihnya sambil terus memainkan putingnya seperti aku memainkan joystick game.

"Oouuuh, kaak, aaah, enaak kaak, terus kaaak, nnghh," desah Shani pelan di tengah malam ini.

Aku pun bergulir ke samping dan menindih tubuh Shani. Aku cium kembali bibirnya, tapi kali ini hanya sebentar. Karena aku dengan segera beralih menciumi serta menjilati leher putihnya itu. Tanganku pun masuk ke dalam celana Shani dan meraba celana dalamnya yang ternyata sudah basah itu. Aku gesekkan tanganku di permukaan celana dalamnya itu sambil terus menjilati leher Shani. Lalu, bibirku pun kembali mencium dirinya sambil terus menggesek jari tanganku ke permukaan celana dalamnya itu.

Aku pun menambahkan kenikmatan yang aku berikan dengan memasukkan jariku ke dalam celana dalamnya dan mulai mengocok vagina Shani. Ku kocok dengan cepat hingga terdengar seperti suara air becek di bawah sana.

"Enngghh!" erang Shani membuatku melepas ciumanku.

Kepalanya Ia dongakkan ke atas, tubuhnya mengejang. Aku melihat Shani yang sedang mengalami orgasme. Aku berhenti mengocok vaginanya agar Ia dapat menikmatinya. Sesaat setelah selesai, aku menarik keluar tanganku dari celananya. Kusuruh Shani untuk membersihkan jari-jari tanganku yang terkena cairan orgasmenya. Shani dengan segera mengemuti jariku.

Setelah itu, aku menarik celana pendek Shani hingga terlepas sekaligus dengan celana dalamnya. Aku buka selangkangan Shani lebar-lebar lalu aku jilati vagina Shani itu.

"Aaah, haah haaah geliii kaak, aaah aaaah," desah Shani pelan.

Ku jilati hingga lidahku menembus masuk ke liang kewanitaannya itu. Lidahku pun bermain di dalam sana. Mataku melihat daging kecil seperti kacang yang ada di bawah sini. Aku mengeluarkan lidahku dan beralih menjilati bagian itu. Pantat Shani langsung terangkat, sewaktu lidahku menyentuh klitorisnya.

"Kaak! Aaahhk!!!" erang Shani tertahan.

"Uuuh, uuhhh, kaak, jangaan! Aaaah, ngghhh uuuhhh huuuuhhh, ooooohhhh kaaak!" eluh Shani panjang namun pelan.

Tiba-tiba air menyembur keluar dari vaginanya itu. Aku dengan segera bergeser agar tidak terkena semburan orgasmenya. Air itu menyembur begitu deras dan tidak terputus hingga membuat sebagian kasur ini basah.

"Nnghhh!!!" Shani mengerang sambil mencengkram sprei kasur begitu kuat di saat Ia squirt begitu derasnya.

Setelah air berhenti menyembur keluar, Shani langsung terkulai lemas. Aku dengan segera melepas celana beserta celana dalamku. Langsung ku arahkan penisku ke selangkangan Shani yang terbuka lebar itu. Dengan sekali tusuk, penisku melesat masuk hingga menghujam bagian terdalam dari vagina Shani.

Aku gerakkan pinggulku dengan cepat sambil memandangi wajah Shani yang sudah terlihat capek itu. Rambutnya yang berantakan itu aku benarkan agar aku dapat melihat wajahnya dengan jelas. Sesekali aku meremas payudaranya yang menganggur itu.

"Aaahh ahhhhh ahhh, kak Indraa, aaahh kaak nggghh," desah Shani pelan.

Aku pun menarik tangannya dan kuposisikan Shani agar duduk. Tiba-tiba aku melihat kacamata Shani di atas laci meja di samping tempat tidur. Aku ambil kacamata itu dan aku suruh Shani untuk memakainya. Lalu, aku peluk Shani kemudian aku cium bibirnya dan aku lanjut menggenjot Shani dalam posisi seperti ini. Kakinya pun Ia lingkarkan di pinggangku.





[​IMG]





"Mmchh aah ahh, uuuh, enaak kaak, ennghh, aaah ahhh," desah Shani.

Butir-butir keringat terlihat di leher jenjang Shani. Begitupula dengan wajahnya. Keringat memenuhi tubuh kami berdua, tetapi kami masih terus bersetubuh tanpa henti.

"Enngghh, kaaak, Shani mau keluaaar lagiiihh," desah Shani lalu memelukku begitu erat.

Aku percepat genjotanku dan aku merasakan penisku terjepit dan dipijat-pijat di bawah sana. Aku pun berhenti menggenjot dan membiarkan Shani untuk orgasme. Setelah selesai, aku menggendong Shani lalu ku cabut penisku. Dia pun ku suruh untuk menungging sambil berpegangan pinggir kasur. Kemudian, aku bergerak ke belakangnya dan langsung menusuk vagina Shani dari belakang sini.

Aku genjot Shani dengan cepat hingga kasur tempat Ia berpegangan bergetar. Desahan-desahan dari dirinya membuatku semakin mempercepat pergerakanku. Sambil sesekali menjilati leher belakangnya, aku juga meremas-remas payudara Shani dari belakang sini.

"Enggh, Shanii, ouuhh, enak banget sayang," ucapku di samping telinganya.

"Aahhh, aaahhh aku jugaa, nggghh, enak main sama kaakaaakhhh, ahhhh," desah Shani.

Aku tarik kedua tangan Shani ke belakang. Aku semakin dalam menyodok vaginanya dalam posisi seperti ini. Merasa sebentar lagi aku akan keluar, aku pun tiduran di kasur dan menyuruh Shani yang posisinya di atasku dan memunggungiku untuk bergerak naik turun.

"Aahh, iyaa gituu, enak banget Shan," desahku sambil meremas-remas pantatnya.

Tubuhnya bergoyang begitu indah di atasku. Pantatnya yang setiap kali turun dan menabrak tubuhku itu begitu enak untuk dipandang. Tak tahan lagi aku pun menarik tubuh Shani agar tiduran di atas tubuhku. Aku pun menggenjot Shani dari bawah sini dengan cepat. Tanganku meremas-remas payudara Shani dengan kencang sambil aku menciumi leher belakang Shani guna menambah kenikmatan serta mempercepat orgasmeku.

"Aahh, aahhh, ahhhh kaaak, lebih cepet! Enaaak," desah Shani yang berada di atasku.

"Aakkhh, Shaniiii!" erangku lalu dengan segera aku cabut penisku dan aku arahkan ke perutnya menggunakan tanganku.

Crooot croooot crooot croooot crooot!

"Haaah, haaah haaah," hanya suara nafas yang keluar dari mulutku.

Setelah mengeluarkan semua spermaku, aku kembali meremas-remas payudaranya dengan kencang.

"Aahh kaaak! Aaaah enaaak," desah Shani.

"Kakak juga enak Shan..." balasku.

Aku pun bangkit dan menidurkan Shani dalam posisi tengkurap. Aku kocok penisku dan tak lama penisku bangkit kembali. Shani yang menoleh dan melihatku itu sangat menggodaku sekali untuk segera menyetubuhinya kembali.

"Tahan ya sayang," ucapku sambil mengelua rambutnya dari belakang sini.

"Tahan apa kak?" tanyanya.

Aku tidak menjawabnya dan segera menindih tubuhnya yang tengkurap itu. Aku remas-remas pantatnya lalu aku buka lebar-lebar belahan pantatnya itu. Kemudian, aku gesekkan penisku di belahan tersebut sambil menjepitnya dengan pantat Shani.

"Hhhh, enak banget Shan," desahku.

Shani hanya mendesah pelan saat aku menggesekkan kemaluanku di pantatnya. Lalu, aku buka lagi belahan pantat itu lebar-lebar. Dan ku arahkan kepala penisku ke lubang pantatnya yang kecil itu.

Aku dorong pelan hingga kepala penisku menyentuh lubang tersebut.

"Kak! Jangaan! Engghh!!! Kakaaak!" erang Shani sewaktu kepala penisku mulai menembus masuk ke dalam lubang tersebut.

Setelah kepala penisku masuk, aku cabut kembali. Ku perhatikan lubang pantat Shani yang terbuka itu. Lalu, aku masukkan kembali meskipun Shani meronta agar tidak memasukkan penisku di dalam sana.

"Kaaak! Aaahhh aahhhh, sakiiit..." rintih Shani pelan.

Dengan perlahan, aku terus memasukkan penisku hingga seluruhnya terbenam di lubang pantat Shani. Uughh, begitu sempit dan hangat. Aku mengelus-elus rambut Shani agar Ia tenang. Kuusap air mata Shani yang keluar akibat menahan sakitnya penetrasi yang kulakukan.

Setelah Shani tenang, aku memaju mundurkan pinggulku.

"Aaahh, aaahh ahhh haaah uuuhh, pelaaan pelaaan, sakiiit," desah Shani.

"Gila, sempit banget Shan, enaak," ucapku sambil terus menggenjot anus Shani.

Oh shiit! Anal memang enak! Terlebih ini pertama kalinya Shani melakukan anal. Ahk! Sepertinya aku tidak mampu menahan kenikmatan ini lebih lama.

Aku percepat gerakanku. Penisku tiba-tiba terasa seperti terhisap di dalam Shani. Tampaknya Shani mulai terbiasa.

"Aahhh aahhh kaaak, aangghhh!" erang Shani.

Aku buka pantat Shani lebar-lebar lagi dan aku melihat penisku yang naik turun dengan cepat di lubang anus Shani.

"Aahhk Shani! Kakak mau keluar!" erangku.

"Kaak Indraa, kaaakaaak, aaah aaahh aahhh," desah Shani.

Aku benamkan penisku sedalam-dalamnya dan aku muntahkan spermaku di lubang anus Shani sebanyak-banyaknya.

Crooot crooot crooot croooot crooot crooot!

"Aahhkk..." erangku setelah semburan terakhir keluar.

Aku cabut penisku keluar dan dengan segera aku ambruk di samping Shani dalam posisi terlentang. Nafasku tidak karuan, begitu juga dengan Shani. Mataku berkunang-kunang menatap langit-langit kamarku. Penisku terasa ngilu, menandakan ini batasku.

Shani tiba-tiba mendekat dan tidur di pundakku. Aku menoleh ke wajahnya yang terlihat lelah itu dan membiarkannya tertidur di pundakku. Tak lama, aku juga ikut tertidur.

Bangun-bangun, aku dan Shani langsung pergi mandi bersama. Tapi sebelum itu, kami mengganti sprei kasur yang basah akibat permainan semalam kami. Kasur yang basah pun kami lipat dan kami simpan di lemari pakaian untuk sementara.

"Ngghhh, kaaak, Shanii mau keluaarr!!!" desah Shani dalam pelukanku.

"Keluarin ajaah Shaan, aah, enak banget sih pantat kamu," ucapku selagi menyodok lebih dalam anusnya.

Sejak permainan anal kemarin malam, aku menjadi ketagihan dengan lubang anus miliknya. Dan kami melakukannya kembali disela-sela kami berdua mandi.

"Aaahhkkk!!!" erang Shani.

Kutahan tubuhnya agar tidak terjatuh itu. Ku peras payudara Shani semakin kencang di saat Ia orgasme. Dan tak lama setelah itu, aku juga memuncratkan spermaku di dalam anusnya. Kami pun menyudahi permainan kami dan segera menyelesaikan mandi kami berdua.

Setelah kami berdua berpakaian rapih, tapi santai, kami pergi keluar untuk sarapan bersama dengan keluarga. Sarapan berjalan dengan tenang dan santai. Obrolan ringan di pagi hari mengenai perkuliahan Shani menemani sarapan kami.

Seusai sarapan, aku hendak jalan-jalan keliling kampung. Aku tidak sempat mengamati lebih dalam perubahan kampung ini. Mungkin ini saat yang tepat untuk hal itu. Berhubung, tidak ada acara pada hari ini.

Aku berjalan menuju lapangan yang dulu sering aku gunakan bermain bola bersama dengan teman-teman sebayaku. Lapangan itu terbuat dari tanah seingatku. Tapi, saat aku sudah sampai lapangan itu, sudah bukan tanah lagi yang ada di sana. Melainkan, berdiri sebuah bangunan yang terbuat dari beton dan beratapkan genteng berwarna hitam. Sangat di sesalkan, lapangan tersebut telah berubah menjadi rumah. Lalu, anak-anak kecil kampung sini, sekarang main dimana?

Pertanyaan tersebut dengan cepat terjawab. Mereka menggunakan jalan utama kampung untuk bermain berbagai macam permainan. Seperti yang aku lihat sekarang, beberapa anak perempuan sedang bermain lompat tali di jalan utama ini. Memang, pagi hari begini enak untuk dihabiskan di luar ruangan. Apalagi jika sekolah libur. Dan dapat ku tebak. Pagi jalanan ini di kuasai oleh anak perempuan, dan sore hari di kuasai anak laki-laki untuk bermain bola.

Ketika sedang memperhatikan anak-anak itu bermain, tiba-tiba Viny berdiri di sebelahku.



[​IMG]



"Jadi anak-anak itu enak ya," ucap Viny.

"Hmm?" responku.

"Mereka gak punya banyak pikiran. Mereka selalu bisa bahagia dalam kondisi apapun," ucap Viny.

"Ada apa nih tiba-tiba begini?" tanyaku.

Viny menoleh padaku.

"Gak ada apa-apa kok. Cuman, kangen masa kecil aja," ucap Viny.

Kemudian Viny berjalan di jalan utama ini. Aku dengan segera menyamai langkahnya.

"Apanya nih yang di kangenin?"tanyaku.

"Banyak sih... Mainannya, suasananya, kepolosonnya," jawab Viny.

"Temennya enggak nih?" pancingku.

"Itu sih jelas! Kalo gak ada temen, masa kecilku dulu, aku gak bahagia dong," jawaban Viny tidak memuaskanku.

"Ngomongin temen... Anak laki yang dulu sering main sama aku di sini kok gak keliatan ya?" tanyaku.

"Ah iya, mereka masuk SMK semua. Dan jurusan yang mereka pilih ada di luar kota ini, jadi ya gitu deh," jawab Viny.

"Mereka gak pulang gitu? Kan lebaran," ucapku.

"Gak tau deh kalo itu. Tapi mereka sebulan sekali pulang kok," balas Viny.

Viny berhenti di sebuah warung. Aku duduk di bangku kayu yang ada di warung itu sambil menunggu dirinya. Sambil melihat ke arah jalan utama kampung ini yang terlihat sepi, aku juga sesekali melirik ke arah Viny.

Yah, dia sangat berubah. Dulu, sewaktu aku masih sekelas dengan dirinya, dia ditakuti oleh penghuni kelas. Termasuk anak laki-laki. Bukan karena kekerasan, tetapi ketegasan Viny serta ketidak takutannya pada apapun, terutama jika hal itu menyangkut pembelaan sesuatu yang benar. Dan penampilannya yang terlihat seperti anak laki-laki menambah kesan Viny yang tegas.

Namun, dibalik itu, sebenarnya Viny adalah orang yang cenderung berpikir dibanding berbicara. Dia lebih suka mendengar daripada bercerita. Dan dia, lebih suka menurahkan seluruh emosi, keresahan, serta perasaannya dalam bentuk tulisan. Dia sendiri yang bilang padaku sewaktu dulu kami sedang singgah sejenak di warung karena kehujanan dan tidak bisa pulang. Tapi, jika ada yang mengusiknya, atau ada sesuatu yang benar namun disalahkan, Viny akan berubah, menjadi orang yang membela kebenaran itu mati-matian.

"Ini mau permen?" tanya Viny menyodorkan beberapa permen di telapak tangannya.

"Udah gede masih aja beli permen kayak begini," jawabku lalu mengambil satu permen kenyal tersebut.

"Biarin, banyak kok yang lebih tua juga suka," balas Viny kemudian duduk di sebelahku.

"Dih, ngambek?" ejekku.

"Biarin," balas Viny.

"Udah gede, gak pantes ngambek begitu," ucapku.

"Suka-suka aku dong," balas Viny kemudian mengunyah permennya sambil memanyunkan bibirnya.

"Hiih, dasar," ucapku lalu reflek tanganku mencubit pipinya yang sedang mengunyah permen itu.

"Aaaw! Ah, kok dicubit sih!" ucap Viny kesal sambil memukul bahuku pelan.

"Lagian, gemesin begitu," balasku.

"Kalo gemes jangan dicubit juga dong, nanti temenmu yang cantik ini pipinya nggelewer-nggelewer gimana," ucapnya sambil mengusap-usap pipinya yang kucubit.

"Dih, siapa yang bilang kamu cantik? Kayaknya tuh orang harus pake kacamata deh," ucapku mengejeknya. Walaupun, aku sendiri menganggapnya cantik.

"Kamu tuh yang harus pake kacamata," balas Viny.

"Hmm, iya kayaknya, soalnya aku ngeliat kamu cantik," ucapku.

Viny berhenti mengunyah sejenak. Lalu dia kembali mengunyah permen tersebut sambil memalingkan wajahnya dariku.

"Apaan sih," ucapnya pelan yang terdengar olehku.

"Jangan sewot gitu dong ah," ucapku lalu mengacak rambutnya.

"Ih! Nyebelin juga ya kamu!" ucap Viny kesal lalu memukuli punggungku dengan pelan.

Aku malah semakin tertawa melihat Viny kesal. Setelah duduk beberapa menit di sana, kami berdua pulang. Viny sudah tidak sekesal tadi, tapi anehnya dia tidak berbicara selama perjalanan pulang.

Sesampainya aku di rumah, Shani yang sedang bermain dengan kucing liar itu berhenti dan menoleh padaku.

"Kemana aja kak? Ganti baju gih, om mau ajak pergi," ucap Shani.

"Mau pergi? Wah, ya udah, ganti baju dulu," balasku lalu bergegas masuk ke rumah dan berganti baju.

Setelah berganti baju, kami sekeluarga pergi keluar dengan mobil. Kecuali Kakek. Beliau enggan di ajak. Beliau juga tidak suka berkeliaran. Beliau pernah bilang, lebih baik Ia mengurusi mobil tuanya dibanding pergi jalan-jalan. Yah sudah, kami tidak memaksa. Kalau dipaksa pun malah membuat Kakek marah.

Kami menuju suatu kawasan pusat perbelanjaan yang ada di kota ini. Kami hendak membawa oleh-oleh khas Jogja untuk tetangga sekitar di Jakarta, dan untuk relasi-relasi Ayahku. Pusat perbelanjaan ini berada di dalam mall.

Aku, berjalan beriringan dengan Shani mengikuti kemana Ayah dan Ibuku pergi. Kami berhenti sejenak di toko kue. Kemudian kami berpindah lagi ke toko aksesoris. Dan yang terakhir, toko baju batik.

Kami berpisah sewaktu berada di dalam toko tersebut. Ayah dan Ibuku sedang memilih-milih, baju batik dengan motif apa yang bagus untuk dibeli. Sementara Shani aku tidak tau dia mengarah kemana tadi, tapi yang jelas dia pasti menuju ke bagian baju untuk perempuan. Sementara aku, hanya melihat-lihat baju yang tertata dengan rapih di sini.

"Kaakaaak, ini bagus gak?" tanya Shani yang tiba-tiba menghampiriku dengan membawa setelan baju batik.

"Mm, bagus," jawabku.

Kemudian dia pergi lagi.

"Kalo ini?" tanya Shani sambil membawa baju batik yang berbeda.

"Bagus juga," jawabku.

Kemudian dia hilang lagi dan kembali lagi dengan pertanyaan yang sama, dan membawa batik yang berbeda berkali-kali.

"Kak, kalo semuanya bagus masa dibeli semuanya?" tanya Shani akhirnya.

"Iya udah, pilih yang menurutmu paling bagus aja," jawabku.

"Kalo menurut kakak, paling bagus yang mana?" tanya Shani.

"Semuanya bagus..." jawabku.

"Ih kakak maaah," balas Shani.

Kemudian aku melirik baju batik terusan rok berwarna hijau laut yang menarik perhatianku.

"Kayaknya itu bagus deh Shan," ucapku sambil menunjuk baju yang kumaksud.

Shani mengambil baju tersebut. Kemudian dia memandangi bagian depan serta belakang baju itu sambil memegangi rok baju tersebut.

"Ku coba dulu ya kak," ucap Shani kemudian berbalik.

Lalu Ia menoleh padaku.

"Gak mau ikut?" goda Shani.

Aku melirik orang tuaku. Mereka sedang sibuk dengan karyawan di sini. Kurasa, tidak apa.

"Duluan," suruhku.

Shani tersenyum lalu berjalan ke arah bilik tempat mencoba baju. Aku mengikutinya. Sesampainya di sana, kami langsung masuk ke bilik yang sama. Beruntung pintu bilik menutupi bagian kaki. Sehingga orang tidak tau ada dua orang di dalam sini.

Shani yang menghadap ke cermin mulai membuka baju atasnya. Setelah terlepas, dia tersenyum padaku melalui pantulan cermin. Kemudian dia melepas celana jeansnya itu. Aku hanya diam memandangi tubuh belakangnya dan tubuh bagian depan yang terpantul cermin. Bra serta celana dalam hitamnya itu sungguh sangat membuatku tergoda. Tetapi aku menahan sekuat tenaga agar tidak tergoda olehnya.

Shani mulai memakai baju batik yang aku sarankan. Dia memakainya dari bawah, atau dari rok baju tersebut. Setelah baju batik tersebut membungkus tubuhnya, dia kesusahan menaikkan resleting belakang baju tersebut. Aku pun berinisiatif menaikkan resletingnya.

Kemudian, dia menatap penampilan dirinya di pantulan cermin.

"Gimana?" tanya Shani.




[​IMG]




"Cantik Shan..." jawabku.

Shani tersenyum. Ku hampiri dirinya. Ku peluk Shani dan kulingkarkan tanganku di perutnya. Bahunya kugunakan untuk menopang daguku. Kemudian, ku cium lembut pipinya, beralih ke rambut sampingnya, kemudian ke leher.

Satu tangan Shani menggenggam erat kedua tanganku yang melingkar di perutnya, sementara tangan yang satu lagi mengelus-elus rambut belakangku.

"Mmmhh kaaak," desah Shani pelan.

"Kayaknya jangan deh kak, sshhh," ucap Shani.

Aku berhenti menciumi lehernya. Ya, dia benar. Orang tuaku bisa curiga jika tidak melihat anak serta keponakannya di toko ini.

Kemudian Shani berbalik dan mencium bibirku lembut. Ciuman yang singkat.

"Aku sayang kakak..." ucapnya setelah melepas ciumannya.

Aku tidak berani menjawabnya dengan kata yang sama. Jika aku menjawabnya dengan kata yang sama, itu berarti aku menerima perasaannya. Dan, seharusnya, kami tidak boleh melakukan ini. Sayangnya, kami sudah terlanjur. Dan aku membawanya sudah jauh ke dalam, membuat Shani yang sepertinya sudah memiliki perasaan padaku.

Aku pun menjawabnya dengan ciuman yang singkat, namun meskipun begitu, lidah kami beradu begitu liarnya. Lalu, aku pergi dari kamar ganti itu meninggalkan Shani.

Setelah selesai urusan kami di butik baju batik tersebut, kami berpisah. Maksudku, perempuan dan laki-laki berpisah. Ibuku dan Shani pergi berbelanja entah mau membeli apa, sementara kami, para pria menunggu di salah satu kedai kopi yang ada di tempat ini.

"Menurutmu Shani gimana tinggal sama kita nanti?" tanya Ayahku.

Aku yang sedang membaca brosur kedai kopi ini berhenti sejenak.

"Ya, gakpapa. Enak jadi ada temennya kan," jawabku.

"Kamu gak ada apa-apa kan sama dia?" tanya Ayahku kemudian.

"Maksudnya?" tanyaku balik.

"Ayah ngeliat kalian deket terus. Memang kalian masih saudara, dan itu wajar. Tapi, Ayah ngeliatnya, kalian deket bukan karena status itu," jelas Ayahku secara langsung.

Apa Ayahku menyadarinya? Atau jangan-jangan, Ayahku sudah tau, bahwa kami sudah melakukan hubungan badan dua kali?

"Ah, enggak ah... Shani kan emang begitu anaknya. Nempel terus," ucapku.

"Hmm, mungkin iya..." balas Ayahku.

Mungkin...

"Yah, Ayah harap kalian tidak menjalin hubungan yang lebih dekat lagi. Bukan sebagai saudara, tapi sebagai... Ya, kamu tau sendiri lah. Apalagi kalian tidur satu kamar," ucap Ayahku.

"Kita tidur satu kamar kan emang udah gak ada kamar lagi," celaku.

"Ayah tau itu. Akan berbeda jika yang tidur bersama adalah dua anak kecil. Kalian berdua sudah besar. Dan, kamu adalah kakaknya. Ayah berharap, jangan sampai emosi menguasaimu dan melakukan hal yang tidak-tidak. Karena Ayah tau sendiri, terkadang nafsu bisa mengalahkan logika," tutur Ayahku.

Ucapan Ayahku barusan seperti palu gada yang menghantam dadaku. Yang semua Ayahku katakan benar. Sayangnya, itu semua sudah terjadi. Nafsu mengalahkan logikaku sendiri, hingga membuatku bersetubuh dengan saudariku sendiri.

Haruskah aku memberitahu Ayahku? Tapi, apa dampaknya bagiku? Apa dampaknya untuk Shani? Mungkin aku akan dimarahi oleh orang tuaku karena melakukan hal yang tidak terpuji. Tapi Shani? Apa yang akan terjadi dengannya?

"Ya udah, ayo kita habisin kopi ini, terus kita cari mereka," ucap Ayahku lalu meminum kopinya.

Setelah kopi milik kami habis, kami mencari Ibuku dan juga Shani. Setelah bertemu dengan mereka yang sedang berada di toko makanan ringan, kami pulang.

Di perjalanan pulang, aku hanya memandangi jalanan lewat kaca mobil ini. Terkadang aku dapat melihat bayangan dirinya terpantul di kaca mobil yang sedang melihat ke arahku. Tapi, tidak ada sedikitpun niatan untuk menoleh ke arahnya.

Sesampainya di rumah pun, aku tetap tidak menyapa Shani. Bahkan di kamar juga. Aku hanya diam sambil duduk di pinggiran kasur. Anehnya, Shani juga sepertinya tampak berniat untuk tidak mengajakku mengobrol. Terlihat ketika kami baru memasuki kamar dan saat kami ingin duduk di pinggir kasur. Shani yang melihatku terlebih dahulu menduduki kasur langsung berbalik dan masuk ke kamar mandi.

Karena merasa tidak nyaman dengan situasi sekarang, aku pun memutuskan untuk pergi keluar. Haaah, sepertinya ini berat. Aneh ya, kenapa dada ini terus merasa sesak. Apa yang membuatnya sesak? Udara luar yang segar di sore hari sudah kuhirup beberapa kali. Tapi, hasilnya tetap sama. Sesak.

Apa ini akibat dosa yang ku perbuat? Apa dosa tersebut berkumpul menjadi satu dan mempersempit peredaran udara?

"Nah loh! Bengong aja kan!" Viny mengagetkanku tiba-tiba.

Aku hanya menoleh dan menatapnya datar.

"Hih, gak kaget ternyata," ucap Viny.

Aku kembali memandangi jalan utama kampung ini sambil duduk di bangku dekat dengan warung tadi pagi. Viny kemudian duduk di sebelahku dan memakan sebuah permen.

"Itu permen yang tadi pagi?" tanyaku tanpa menoleh ke arahnya.

"Iya, kenapa? Mau? Masih ada satu," tawar Viny.

"Enggak, makasih," tolakku.

Kami berdua pun saling diam. Suara kunyahan permen karet dari mulut Viny yang terdengar pelan itu mengisi keheningan di sekitar kami. Yang terkadang, suara tersebut disamarkan oleh suara knalpot motor yang lewat di depan kami.

"Ngomong-ngomong, dua hari lagi aku pulang ke Jakarta," ucapku.

Tidak terdengar suara kunyahan permen karetnya. Aku pun menoleh dan kini dia yang menatap ke depan seperti orang sedang melamun.

"Hayoloh!" aku gantian mengagetkannya dan dia dengan cepat menoleh dan menatapku dengan panik.

"Jiaaah, kageet wahahaha," aku tertawa puas melihat ekspresinya.

Buuk!

"Waduuuh!" teriakku pelan setelah kakiku ditendang olehnya.

"Iseng banget jadi orang! Untung gak ketelan kan permen karetnya!" omel Viny.

"Ehehe ya maaf hehe," ucapku sambil cengengesan.

"Cepet amat dua hari lagi udah pulang," ucap Viny lalu memandangi jalan utama lagi.

"Ya, soalnya Shani harus ikut tes masuk di sana..." balasku sambil ikut memandangi jalan utama.

"Besok, mau jalan-jalan lagi?" dia menawariku.

"Wah, ya jelas mau!" balasku cepat.

"Tapi mau kemana?" tanyaku.

"Hmm, liat besok aja deh ya, aku juga gak tau mau kemana," jawab Viny.

"Ya udah, aku ngikutin kamu aja ya. Awas kalo tempatnya gak menarik," ancamku main-main.

"Tenang aja, besok aku bikin kamu gak akan ngelupain kota ini," balas Viny.

Hal yang kami lakukan kemudian adalah, bermain menghitung banyaknya sepeda motor yang lewat. Aku menghitung sepeda motor manual, sementara Viny menghitung yang matic. Sialnya, yang lewat kebanyakan matic. Jadinya Viny menang. Meskipun tidak ada hadiah dari permainan ini, aku tetap merasa senang.

Setelah suara adzan Maghrib berkumandang, kami berdua pulang ke rumah masing-masing. Sesampainya di rumah, keluargaku tengah bersiap-siap untuk melakukan sholat berjamaah. Aku dengan segera mengambil air wudhu dan ikut melaksanakan sholat berjamaah.

Selesai sholat, aku memilih untuk menonton tv bersama dengan Ibu dan Kakekku. Shani berada di dalam kamar, begitu juga dengan Ayahku.

Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh. Tampaknya acara tv membuat kami terlarut ke dalamnya. Ibuku pergi untuk tidur terlebih dahulu. Kemudian aku menyusulnya dan pergi ke kamarku.

Di kamar, aku melihat Shani sedang duduk di atas kasur dengan berbagai macam buku pelajaran berserakan di sana. Sepertinya dia sedang belajar. Aku yang bingung mau berbuat apa pun hanya bisa berdiri di depan pintu saja.

"Kakak tidur dimana?" tanya Shani.

Aku menoleh sekilas padanya. Kemudian aku melihat ke lantai. Iya juga, dimana? Kasur lipat masih basah akibat perbuatan semalam.

"Kakak tidur luar aja deh ya," ucapku lalu berbalik.

Kemudian, dengan cepat pinggangku dipeluk olehnya.

"Tidur sama Shani aja kak..." ucap Shani yang kepalanya Ia benamkan di punggungku.

"Shani tau yang kita lakuin itu salah, tapi, tapi..." lanjutnya terputus.

Aku mendengar suara isakan tangis dari Shani. Yang mana itu membuat dadaku terasa sesak kembali. Suara tangisannya yang pelan, membuatku bimbang. Haruskah aku menurutinya, atau haruskah aku keluar dari kamar ini dan meninggalkannya dalam kondisi menangis seperti sekarang?

Ck.

Aku berbalik dan membalas pelukannya.

"Oke, kakak temenin..." ucapku sambil meletakkan daguku di kepalanya dan mengusap-ngusap punggungnya pelan hingga Shani berhenti menangis.

"Jangan nangis lagi... Udah sana belajar lagi," suruhku lalu melepas pelukanku.

Shani menggeleng pelan.

"Aku udah capek, ngantuk, besok lagi," ucapnya seperti anak kecil.

Aku tertawa pelan melihat dan mendengarnya. Akhirnya, aku membantu dirinya membersihkan buku-buku pelajaran yang dia bawa. Setelah itu, aku matikan lampu di kamar ini, dan kami berdua pun tidur.
Nikmatnya Liburan ( Viny & Shani JKT48 ) Nikmatnya Liburan ( Viny & Shani JKT48 ) Reviewed by Sempak on November 29, 2017 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.